Zaman bertambah maju! Demikian sebuah ungkapan tentang zaman sekarang
ini. Secara umum hal ini dapat ditengarai dari keadaan masyarakat kita.
Kondisi sekarang memang relatif lebih baik’ dibanding zaman dahulu.
Sebut saja era 1970-an. Ketika itu, dari sekian keluarga yang ada di
kampung saya berada, yang mempunyai pesawat televisi hanya ada dua orang
saja.
Sehingga kalau ada pertandingan sepak bola dunia misalnya, atau ada
pertandingan tinju kelas dunia, atau acara menarik lainnya yang ada di
televisi, sebagian besar penduduk yang ingin melihat akan
berbondong-bondong menuju ke rumah yang mempunyai televisi tersebut.
Sekitar satu jam sebelum pertunjukkan dimulai, kami semua pemuda
maupun orang tua sudah berjubel mencari tempat duduk yang enak di dekat
televisi agar bisa melihat dengan jelas. Demikian sekedar gambaran
betapa sekarang ini zaman sudah semakin maju.
Kini, di kampung tempat tinggal saya dahulu -sekitar 900 keluarga –
tidak satu pun yang tidak mempunyai televisi. Apakah rumah mewah yang di
dalamnya terdapat lebih dari satu pesawat televisi, ataukah gubuk-gubuk
kecil sederhana yang hanya punya satu ruangan saja, semua rumah sudah
ada televisinya. Zaman sudah berubah!
Bersamaan dengan ‘kemajuan’ zaman, maka situasi dan kodisi juga
berubah secara drastis dan mengejutkan. Tetapi perubahan demi perubahan
itu menjadi tidak terasa karena kita semua juga mengikuti perubahan yang
terjadi, sehingga terjadilah penyesuaian perubahan pada masing-masing
orang.
Sebagai ilustrasi sederhana, kita ketahui bahwa bumi tempat kita
berpijak ini bergerak mengelilingi matahari dengan kecepatan yang sangat
tinggi yaitu sekitar 107.000 km/jam. Dan pada saat yang bersamaan pula
bumi kita juga berputar pada sumbunya dengan kecepatan sekitar 1.600
km/jam. Baik secara revolusi maupun secara rotasi bumi mengalami
perubahan posisi yang sangat cepat dan bermakna.
Mengapa kita tidak merasakannya? Jawabnya, adalah karena kita juga
mengikuti perubahan itu. Kita telah lengket di bumi tempat kita
berpijak, disebabkan adanya gravitasi bumi. Bayangkan andaikata kita
manusia yang ada dibumi ini tidak dipengaruhi oleh gravitasi bumi. Dan
kita berada pada posisi ‘bebas’, padahal bumi terus berputar dan
bergerak dengan begitu cepatnya…
Kira-kira apa yang akan terjadi ? Tentu kita manusia akan hancur
berantakan dan ludes, karena akan tertabrak dan ‘tertampar’ oleh ribuan
bangunan dan ribuan pohon-pohon besar yang ada di sekitar kita yang ikut
berputar karena mengikuti rotasi bumi. Untung saja dengan penuh kasih
sayangNya Allah Swt memberlakukan gravitasi bagi manusia. Sehingga
manusia juga ikut berputar mengikuti rotasi bumi dengan `nyaman’…
Berkaitan dengan kemajuan zaman yang semakin modern ini, marilah kita saksikan sebuah kejadian lain…!
Ternyata kehidupan di sekitar kita semuanya juga berubah. Termasuk
pasar tempat kita belanja. Yang dahulu kita belanja di pasar
tradisional, kini perilaku kita juga berubah. Kita sering belanja di
tempat-tempat belanja modern yaitu di supermarket. Saat ini sudah
demikian menjamur dan banyak bermunculan disetiap kota besar maupun kota
kecil di seluruh pelosok negeri.
Jika kita bandingkan kedua pasar itu, ada suatu perbedaan yang sangat
menyolok dan cukup signifikan antara situasi pasar tradisional dan
supermarket sebagai pasar modern.
Belanja di supermarket, lebih praktis, lebih efektif, serta lebih
bersih keadaannya. Sehingga waktu pun menjadi lebih efisien. Dan suasana
belanja mungkin menjadi lebih nyaman. Di supermarket semua barang sudah
ada label harganya. Sudah ditimbang sesuai dengan ukurannya. Tak ada
tawar menawar antara penjual dan pembeli. Mungkin itulah ciri dari
masyarakat modern! Semua ingin serba cepat dan praktis.
Tetapi, pada kondisi itu kalau kita renungkan, dan kita cermati
dengan seksama, ada sesuatu yang hilang, Mari kita kenang kembali,
suasana ketika masing-masing dari diri kita pernah belanja di pasar
tradisional. Yang sampai sekarangpun sebenarnya masih banyak kita
jumpai.
Pernah suatu ketika saya belanja di pasar ‘pagi’ di kampung saya.
Pada saat itu tanpa sengaja saya melihat suatu ‘adegan’ yang cukup
menarik untuk ditulis dalam diskusi ini. Seorang ibu setengah baya,
membeli buah alpukat di salah satu penjual yang ada di pasar tersebut.
Setelah terjadi dialog kecil dalam proses jual beli yang cukup akrab,
ibu tersebut menawar dengan harga tertentu. Selanjutnya si penjual
mengambilkan buah alpukat yang bagus-bagus sebanyak 10 buah ditambah
satu. Sehingga buah alpukat yang dibeli menjadi sebelas buah dengan
harga kesepakatan untuk sepuluh buah alpukat. (Dalam bahasa jawa, satu
biji alpukat yang diberikan oleh si penjual disebut welasan).
Ada tiga point penting yang cukup menarik untuk diperhatikan dalam
proses jual beli tersebut, yang di pasar modern mungkin tidak pernah
terjadi.
Niat baik si penjual (yang sudah merupakan tradisi) memberi welasan
pada si pembeli. Niat baik si penjual ketika memilihkan buah yang bagus.
Proses komunikasi yang sangat akrab dan saling menghargai antara
penjual dan pembeli
Dalam waktu yang hampir bersamaan, terjadi pula di sebelah kejadian tersebut satu peristiwa yang tidak kalah menariknya.
Seorang ibu muda membeli gula merah sebanyak satu kg. Yang menarik
adalah ketika si penjual menimbang gula merah, daun timbangannya sangat
mantap, melebihi berat 1 kg sebagai kesepakatan jumlah gula yang dibeli.
Di sini terjadi sebuah tradisi budaya yang sangat indah, yaitu budaya memberi dari seorang penjual kepada pembeli.
Dan yang lebih menarik lagi adalah, dikarenakan si penjual mempunyai
niat yang baik ketika melakukan proses penimbangan, maka saya lihat si
pembeli juga tidak mau ‘kalah’ dalam hal berbuat baik. Ketika si penjual
berupaya mencari uang kecil sebagai uang kembalian dari jual beli
tersebut, si pembeli tidak mau menerimanya.
Kata pembeli : “…kersane bu, mboten usah ngangge susuk, njenengan
sampun mantepake timbangan kangge kulo… ( biarlah bu, tidak usah pakai
uang kembalian, toh, ibu juga telah memberi cukup banyak kelebihan
timbangan gula ini untuk saya…)”,
Kata penjual: “…maturnuwun bu, nyuwun ikhlase penggalih nggih …?(
terima kasih bu, mohon keikhlasan hati, ya…?!)” Balas pembeli : “…oh,
inggih bu, sami-sami..,( oh, iya bu, sama-sama…)”
Inilah sebuah adegan sederhana dalam proses jual beli di pasar
tradisional yang sangat menarik dan sangat Islami, yang tentu tidak akan
kita jumpai di dalam supermarket. Point yang menarik dari kejadian
sederhana itu adalah
Adanya niat baik si penjual ketika memberi lebih banyak dari berat
timbangan yang ditentukan. Niat baik si pembeli ketika membalas
pemberian si penjual
Permohonan maaf, untuk saling mengikhlaskan. Terjadinya proses ‘saling memberi’ yang sangat indah.
“Saling memberi” adalah kata kunci dalam sebuah kehidupan sosial yang
sangat harmonis, yang sangat Islami, yang di zaman modern ini semakin
pudar dan semakin langka saja.
Allah Swt, begitu menghargai orang-orang yang mempunyai semangat
untuk memberi. Bahkan kata Allah dalam Al Qur’an Al Karim, salah satu
sifat dari orang yang bertaqwa adalah suka memberi, baik ia dalam
kondisi sedang lapang mau pun senang. Atau ketika kondisi sedang sempit
dan susah.
Q.S. Ali Imran:134
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Kejadian itu tampak sederhana. Suatu peristiwa keseharian yang
‘sepele’. Dan merupakan hal yang rutin. Tetapi kalau diamati dengan
sesungguhnya, akan tampaklah keindahan peristiwa itu.
Maka bagi seorang yang beriman dia akan selalu merasa bahwa Allah
Yang Maha Kuasa, ternyata selalu ‘hadir Edimana saja dan kapan saja
untuk memberi pelajaran kepada hambaNya.
Timur dan barat adalah kepunyan Allah, oleh sebab itu kemana saja
kita hadapkan muka, disana akan bertemu dengan Allah, sesungguhnya Allah
Maha Luas kekuasaanNya dan Dia Maha Mengetahui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar